Laman

Rabu, 07 November 2012

Ruqyah dalam Perspektif Sejarah:
Masa Pra dan Pasca Islam
Oleh:
Achmad Zuhdi Dh
www.zuhdidh.blogspot.com/ 0817581229

Sebelum kedatangan Islam, ruqyah sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab. Seorang sahabat Nabi Saw bernama ‘Awf bin Ma>lik al-Ashja’i> berkata: “Kami dahulu pada masa Jahiliyah pernah melakukan ruqyah” (كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ). Al-Ashja’i> bertanya kepada Rasulullah Saw: “Bagaimana pendapatmu terhadap ruqyah yang kami lakukan?”. Nabi Saw kemudian minta ditunjukkan cara meruqyahnya, lalu Nabi Saw menyatakan: “Tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak terdapat unsur syirik di dalamnya (لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ)[1].
Di kalangan masyarakat Ja>hili>yah, ruqyah diartikan sebagai mantra, jampi-jampi yakni kalimat-kalimat yang dianggap berpotensi mendatangkan daya gaib atau susunan kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib[2]. Mantra dibaca oleh orang yang mempercayainya guna meminta bantuan kekuatan yang melebihi kakuatan natural, guna meraih manfaat atau menampik madarat. Dalam pengertian ini, ruqyah dianggap bisa menyembuhkan karena kekuatan ruqyah itu sendiri atau bantuan dari jin dan sebagainya. Karena pemahaman yang demikian ini maka Nabi saw pernah melarang ruqyah. Beliau pernah bersabda: “Sesungguhnya ruqyah, tami>mah dan tiwalah itu syirik” (إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ). Sehubungan dengan pernyataan Nabi Saw bahwa ruqyah itu mengandung syirik, Abdullah bin Mas’u>d menjelaskan kepada isterinya yang pernah sembuh matanya karena diruqyah oleh orang Yahudi. Ibn Mas’u>d berkata:“Itu adalah perbuatan setan yang menyolok matanya dengan tangannya sehingga ketika diruqyah dapat menahan rasa sakitnya”( إِنَّمَا ذَاكَ عَمَلُ الشَّيْطَانِ كَانَ يَنْخُسُهَا بِيَدِهِ فَإِذَا رَقَاهَا كَفَّ عَنْهَا)[3].
Di kalangan kaum Yahudi, dalam melakukan ruqyah ada yang bekerjasama dengan jin atau setan selain ada juga yang menggunakan Kitab Allah. Salah seorang Yahudi yang dikenal suka bekerjasama dengan jin atau setan adalah Labi>d bin Al-A’s}am yang pernah menyihir Nabi Saw[4]. Sedangkan praktik ruqyah dengan Kita>b Allah pernah dilakukan oleh Wanita Yahudi yang meruqyah ‘Aishah ra pada saat ia sakit. Diceritakan bahwa suatu ketika Abu> Bakar datang ke rumah ‘Aishah ra yang sedang menderita sakit. Saat itu ada seorang wanita Yahudi yang akan mengobati Aishah dengan cara meruqyah. Maka Abu> Bakar memerintahkan wanita Yahudi itu untuk meruqyah dengan Kita>b Allah, yaitu dengan Taurat dan Inji>l (أن أبا بكر دخل على عائشة وهي تشتكي ويهودية ترقيها، فقال أبو بكر: ارقيها بكتاب الله. يعني: بالتوراة والإنجيل...")[5]
Dari keterangan tersebut menunjukkan bahwa ruqyah, selain dilakukan oleh orang-orang ‘Arab Ja>hili>yah juga dilakukan oleh orang-orang Arab Yahudi. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas ra bahwa pernah ada seorang ahli ruqyah bernama D{ima>d dari kabilah Bani Azad Shanu>-ah pergi ke Mekkah. Ketika D{ima>d mendengar dari orang-orang Jahiliyah Mekkah yang mengatakan bahwa Muhammad telah gila, ia ingin sekali meruqyahnya. Akhirnya D{ima>d dapat bertemu dengan Nabi Muhammad Saw dan menawarkan diri kepada beliau untuk dapat meruqyahnya. D{ima>d berusaha meyakinkan Nabi Saw bahwasanya dirinya bisa meruqyah dan Allah akan menyembuhkan siapa saja yang diruqyahnya. Mendengar tawaran dari D{ima>d itu, Nabi Saw menjawabnya dengan kalimat sebagai berikut: (إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أَمَّا بَعْدُ), “sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kita memuji, memohon pertolongan dan ampunanNya. Barangsiapa yang diberi petunjuk maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkanNya, maka tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah yang Esa, tiada sekutu bagiNya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya”.
Mendengar jawaban Nabi Saw seperti itu D{ima>d penasaran kemudian minta kepada Nabi saw untuk mengulanginya lagi. Maka Rasulullah saw pun mengulanginya hingga tiga kali. Setelah itu D{ima>d berkomentar dengan penuh kekaguman, katanya: “Aku sering mendengar perkataan-perkataan tukang ramal, tukang sihir dan para penyair, namun sungguh aku tidak pernah mendengar seperti apa yang engkau (Nabi Saw) ucapkan tadi. Sungguh ucapan-ucapanmu itu mencapai kedalaman lautan”. Setelah itu D{ima>d berbaiat kepada Rasul Saw untuk memeluk agama Islam dan kaumnya pun kemudian diajaknya memeluk Islam.[6]
Di kalangan sahabat Nabi saw, sebelum masuk Islam, banyak yang mempunyai keahlian melakukan ruqyah. Tetapi mereka mengalami kebimbangan ketika Nabi Saw melarang ruqyah. Di antara mereka itu adalah keluarga ‘Amr bin H{azm. Suatu ketika mereka menemui Rasulullah saw untuk menanyakan perihal larangan ruqyah. Mereka lalu memperlihatkan kepada Nabi Saw bagaimana cara meruqyah dari sengatan kalajengking atau gigitan ular berbisa. Setelah memperhatikan cara-cara mereka meruqyah, Nabi Saw kemudian mengatakan: “Saya kira tidak ada masalah (dengan ruqyah yang kalian lakukan). Barangsiapa ada di antara kalian yang bisa menolong saudaranya maka lakukanlah”. (مَا أَرَى بَأْسًا مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فليفعل).[7]
Setelah Nabi memberikan lampu hijau tentang bolehnya meruqyah, beberapa sahabat pun melakukan ruqyah, baik terhadap diri sendiri ataupun kepada orang lain. Pernah suatu ketika sejumlah rombongan sahabat Nabi Saw melakukan perjalanan. Mereka ingin singgah dan bertamu di sebuah kampung, tetapi tidak diizinkan. Saat itu kepala kampungnya menderita karena sengatan ular. Mereka, anak buahnya berusaha mencarikan obat dan menempuh berbagai cara untuk menyembuhkan kepala kampung itu, tetapi gagal. Akhirnya meminta tolong kepada rombongan para sahabat untuk dapat mengobatinya. Juru bicara sahabat mengatakan bahwa dirinya bisa melakukan ruqyah untuk mengobati kepala kampung itu asal diberi upah. Setelah berunding, mereka akhirnya menyetujui dan akan memberikan upah sekawan kambing. Saat itu salah seorang sahabat Nabi Saw mendatangi kepala kampung kemudian melakukan ruqyah untuk kesembuhannya dengan cara meniup dan sedikit meludah sambil membacakan surat al-Fa>tih}ah. Dengan izin Allah, sakit yang diderita kepala kampung itu hilang dan sembuh total. Para sahabat pun mendapatkan hadiahnya. Setelah dikonfirmasi kepada Nabi Saw, beliau tertawa dan mengatakan: “Bagaimana kamu tahu kalau surat al-Fa>tih}ah tu bisa digunakan untuk meruqyah? Kalian telah berbuat yaang benar. Sekarang bagikanlah hadiahnya dan saya berikan bagiannya” (مَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». قَالَ وَقَالَ :« أَصَبْتُمُ اقْتَسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ).[8]
Tradisi meruqyah yang dibolehkan oleh Nabi Saw ini kemudian dilanjutkan oleh orang-orang sesudahnya, baik dari kalangan saha>bat, tabi’i>n maupun oleh ulama-ulama berikutnya. Di antara ulama yang terkenal dengan keahliannya di bidang ruqyah adalah Ibn al-Qayyim al-Jawzi>yah. Ia banyak menulis tentang cara-cara pengobatan menurut Nabi Saw termasuk pengobatan dengan cara meruqyah. Salah satu buku karya Ibn al-Qayyim yang sangat populer adalah al-T{ib al-Nabawi>. Dalam buku ini Ibn al-Qayyim mengisahkan pengalaman pribadinya bahwa suatu saat ketika berada di Makkah, ia mengalami sakit. Saat itu ia tidak mendapatkan dokter dan obat-obatan. Karena itu ia kemudian melakukan pengobatan dengan jalan meruqyah, yakni dengan cara mengambil segelas air zamzam kemudian dibacakan surat al-Fatihah di atasnya berulang-ulang baru kemudian diminum. Dengan kehendak Allah, setelah itu ia mengalami kesembuhan total (وأقرؤها عليها مراراً، ثم أشربه، فوجدتُ بذلك البرءَ التام)[9].
Hingga sekarang, tardisi ruqyah masih dilakukan oleh kaum muslimin termasuk di Indonesia.

[1] Muslim Bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qushairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, IV,Ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Bairut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, tt),1772.
[2] Hans Wehr, dalam bukunya “A Dictionary of Modern Written Arabic”, (London, Macdonal & Evans LTD, 1974), 355’ menulis bahwa Ruqyah pl.ruqan berarti spell. Sedangkan John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT.gramedia, 1989), 545. Menulis bahwa spell artinya jampi, mantera (sihir).
[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, I. Ed. Shu’ayb al-Arnowt et.al (Kairo: Muassasah Qurtubah,tt), 381. Shu’ayb al-Arnowt berkomentar bahwa hadith ini sahih ligharih.
[4] Abu> 'Abdilla>h Muh}ammad b. Isma>'i>l b. Ibra>hi>m b. al-Mughi>rah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h al-Bukhari> Bi Hasshiyah al-Sindi, Vol.IV (Bayrut: Dar al-Fikr, tt), 20.
[5] Jawwa>d ‘Ali>, Al-Mufas}s}al Fi> Ta>ri>kh al-‘Arab Qabl al-Isla>m, XII (Tt: Da>r al-Sa>qi>, 2001), 136.
[6] Imam Muslim, S{ah}i>h} Muslim No. 2045, III/11. Ibn al-Athi>r, Asad al-Gha>bah, II/33. Shams al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m Wa Wafaya>t al-Masha>hi>r Wa al-A’la>m, I (Bairu>t: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1987), 197.
[7] Imam Muslim, S{ah}i>h} Muslim, VII/19. Ibn al-Athi>r, Asad al-Gha>bah, II/347.
[8] Al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, II/795.
[9] Ibn al-Qayyim al-Jawzi>yah, al-T{ib al-Nabawi>, Vol I (Bairu>t: Da>r al-Kita>b al’Arabi>, 1990), 152.

Senin, 29 Oktober 2012

Senin, 22 Oktober 2012

ruqyah

Pengertian Ruqyah

oleh Achmad Zuhdi DH

Kata ruqyah berasal dari bahasa Arab raqa, raqyan, ruqiyyan wa ruqyatan (رقى رَقيا رُقياّ ورقية ). Ahmad Warson Munawwir, dalam Kamus Arab-Indonesia menerjemahkannya dengan mantra. Hans Wehr, dalam bukunya “A Dictionary of Modern Written Arabic”, menulis bahwa ruqyah pl.ruqan berarti spell. Sedangkan John M.Echols dan Hassan Shadily dalam Kamus Inggris- Indonesia menulis bahwa spell artinya jampi, mantra (sihir). Ibrahim Anis dalam Kamus al-Mu’jam al-Wasit} mengartikan ruqyah sebagai perlindungan (الرقية العُوذة), sedangkan Ibn Taymiyah memasukkannya dalam kategori doa atau permohonan ( من أنواع الدعاء). Pendapat bahwa ruqyah itu termasuk doa (الرقية وهي الدعاء) juga dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jawziyah.
Beberapa pengertian yang menjelaskan tentang arti kata ruqyah dari aspek bahasa tersebut, secara keseluruhan dapat difahami semakna dan saling melengkapi satu sama lain yaitu semacam doa, permohonan perlindungan dengan membacakan atau mengucapkan mantra, yakni perkataan atau ucapan yang terdiri dari kalimat yang tersusun dan berirama yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, jika dikaitkan dengan penawar maka mantra penawar berarti mantra pengobatan.
Secara istilah, ruqyah telah didefinisikan oleh para ulama, di antaranya oleh Ibn al-Athir. Ia berkata:
الرُّقْية العُوذة التي يُرْقى بها صاحبُ الآفةِ كالحُمَّى والصَّرَع وغير ذلك من الآفات
Ruqyah adalah permohonan perlindungan (jampi-jampi, mantra) yang dibacakan kepada orang yang terkena penyakit seperti demam, ketakutan dan penyakit-penyakit yang lain.
Sedangkan Abd al-Razzaq mengatakan:
الرقية: العوذة أو التعويذة التى تقرأ على صاحب الآفة مثل الحمى أو الصرع أو الحسد طلبا لشفائه
Ruqyah adalah permohonan perlindungan (jampi-jampi) yang dibacakan pada orang yang terkena penyakit seperti demam, ketakutan (sawan), dan kedengkian dengan maksud untuk mendapatkan kesembuhan.
Muh}ammad Nasir al-Din al-Albani dengan agak lengkap mendefinisikan ruqyah yang sesuai sunnah sebagai berikut:
هي ما يقرأ من الدعاء لطلب الشفاء من القرآن، ومما صح من السنة
Ruqyah adalah sesuatu doa yang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih} yang dibacakan (pada pasien) dengan maksud untuk mendapatkan kesembuhan.
Secara lebih rinci, Hafiz Bin Ah}mad al-Hakimi mengklassifikasikan ruqyah menjadi dua macam, yaitu Ruqyah Mashru’ah (ruqyah yang dibenarkan) dan Ruqyah Mamnu’ah (ruqyah yang terlarang). Ruqyah Mashru’ah adalah ruqyah yang diambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan bahasa Arab dan harus diyakini oleh yang melakukan ruqyah dan yang diruqyah bahwa pengaruhnya (kesembuhannya) tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin Allah Swt. Sedangkan Ruqyah Mamnu’ah adalah ruqyah yang tidak didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah, tidak berbahasa Arab, tetapi dari perbuatan setan dan berkhidmat dengannya. Dalam hal ini seperti yang diambil dari kitab Haykal, al-Talasim, Shams al-Ma’arif, Shumus al-Anwar, dan lain-lain.
Pada mulanya, ruqyah diartikan sebagai mantra, jampi-jampi yakni kalimat-kalimat yang dianggap berpotensi mendatangkan daya gaib atau susunan kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Mantra dibaca oleh orang yang mempercayainya guna meminta bantuan kekuatan yang melebihi kakuatan natural, guna meraih manfaat atau menampik madarat. Dalam pengertian ini, ruqyah dianggap bisa menyembuhkan karena kekuatan ruqyah itu sendiri atau bantuan dari jin dan sebagainya. Ruqyah dalam pengertian seperti inilah yang pernah dilarang oleh Nabi Saw. ‘Awf bin Malik ra berkata:
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
“Dahulu kami melakukan ruqyah di masa jahiliyah. Lalu kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang hal itu?’ Beliau menjawab: ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa dilakukan selama tidak mengandung syirik’.” (HR. Muslim No.2200)
Berdasarkan h}adi>th tersebut maka kata ruqyah tidak boleh dipahami dalam arti mantra sebagaimana dimaksudkan oleh mereka yang mempercayainya sebagai kalimat-kalimat yang memiliki kekuatan magis. Ia seharusnya diartikan sebagai salah satu sebab yang bisa menyembuhkan atas izin Allah, ia bukan penyembuh. Ia hanyalah kalimat-kalimat yang diajarkan atau dibenarkan Nabi untuk diucapkan dalam rangka memohon kepada Allah dan bahwa pengaruhnya berpulang semata-mata kepada kehendak Allah, Yang Maha Kuasa.
Kepercayaan yang demikian kuat di kalangan masyarakat yang ditemui Al-Qur’an, pada masa pra Islam, menjadikan Allah dan Rasul-Nya menggunakan kata tersebut, tetapi dengan mengubah makna semantiknya sehingga sejalan dengan akidah Islam. Dengan demikian kata ruqyah telah diislamkan oleh Al-Qur’an melalui pengajaran dan pengamalan Nabi Saw serta sahabat-sahabatnya. Karena itu pula maka dapat dikatakan bahwa ada ruqyah yang disyariatkan (dibenarkan) dan ada pula ruqyah yang dilarangnya.
Ibn H{ajar al-‘Asqalani berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa ruqyah yang dibolehkan adalah yang memenuhi tiga syarat, yaitu (1) melakukan ruqyah dengan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan nama-nama dan sifat-sifatNya; (2) melakukan ruqyah dengan bahasa Arab atau bahasa lain yang bisa dimengerti maknanya; dan (3) percaya sepenuhnya bahwa penyembuhan yang terjadi adalah semata-mata atas izin dan restu Allah SWT.
Sumber Bacaan:
Luways Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lughah (Bairut: Dar al-Mashriq, 1977), 276.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir , Arab-Indonesia(Surabaya: Pustaka Progresif, 1984), 562.
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London, Macdonal & Evans LTD, 1974), 355.
John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT.gramedia, 1989), 545.
Ibrahim Anis et.al, Al-Mu’jam al-Wasit},II (tt:Dar al-Fikr, tt),367.
Ibn Taymiyah, Majmu al-Fatawa, Vol.XXVII (tt: Dar al-Wafa, 2005), 68.
Muh}ammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’d Shams al-Din Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, al-Tibyan Fi Aqsam al-Qur’an, Vol.I (Bayrut: Dar al-Fikr, tt), 92.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 558.
Ibn al-Athir, al-Nihayat Fi Gharib al-Athar, Vol.II (Bairut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1979), 621. Muh}ammad bin Mukrim Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, XIV (Bairut: Dar Sadir, tt), 331.
Abd al-Razzaq al-San’ani, Tafsir al-Qur’an, VIII/266.
Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Da’if Sunan al-Tirmidhi, Vol.I (tt:tp,tt), 231.
Hafiz Bin Ahmad al-Hakimi, A’lam al-Sunnah al-Manshurah Li ‘tiqadi al-Taifah al-Najiyah al-Mansurah (Jeddah, Maktabah al-Sawadi Li al-Tawzi’, 1997), 155.
Muslim Bin al-Hajjaj Abu al-H{usayn al-Qushayri al-Naisaburi, Sahih Muslim, IV,Ed. Muh}ammad Fuad Abd al-Baqi (Bayrut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, tt),1772.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, X (Bayirut: Dar al-Ma’rifah,tt), 166. Baca juga al-Hakimi, A’lam al-Sunnah al-Manshurah, 155.