Masa Pra dan Pasca Islam
Oleh:
Achmad Zuhdi Dh
www.zuhdidh.blogspot.com/ 0817581229
Sebelum
kedatangan Islam, ruqyah sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab.
Seorang sahabat Nabi Saw bernama ‘Awf bin Ma>lik al-Ashja’i>
berkata: “Kami dahulu pada masa Jahiliyah pernah melakukan ruqyah” (كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ).
Al-Ashja’i> bertanya kepada Rasulullah Saw: “Bagaimana pendapatmu
terhadap ruqyah yang kami lakukan?”. Nabi Saw kemudian minta ditunjukkan
cara meruqyahnya, lalu Nabi Saw menyatakan: “Tidak mengapa dengan
ruqyah selama tidak terdapat unsur syirik di dalamnya (لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ)[1].
Di kalangan masyarakat Ja>hili>yah, ruqyah
diartikan sebagai mantra, jampi-jampi yakni kalimat-kalimat yang
dianggap berpotensi mendatangkan daya gaib atau susunan kata yang
berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib[2]. Mantra dibaca oleh orang yang mempercayainya guna meminta bantuan kekuatan yang melebihi kakuatan natural, guna meraih manfaat atau menampik madarat. Dalam pengertian ini, ruqyah dianggap bisa menyembuhkan karena kekuatan ruqyah
itu sendiri atau bantuan dari jin dan sebagainya. Karena pemahaman yang
demikian ini maka Nabi saw pernah melarang ruqyah. Beliau pernah
bersabda: “Sesungguhnya ruqyah, tami>mah dan tiwalah itu syirik” (إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ).
Sehubungan dengan pernyataan Nabi Saw bahwa ruqyah itu mengandung
syirik, Abdullah bin Mas’u>d menjelaskan kepada isterinya yang pernah
sembuh matanya karena diruqyah oleh orang Yahudi. Ibn Mas’u>d
berkata:“Itu adalah perbuatan setan yang menyolok matanya dengan
tangannya sehingga ketika diruqyah dapat menahan rasa sakitnya”( إِنَّمَا ذَاكَ عَمَلُ الشَّيْطَانِ كَانَ يَنْخُسُهَا بِيَدِهِ فَإِذَا رَقَاهَا كَفَّ عَنْهَا)[3].
Di
kalangan kaum Yahudi, dalam melakukan ruqyah ada yang bekerjasama
dengan jin atau setan selain ada juga yang menggunakan Kitab Allah.
Salah seorang Yahudi yang dikenal suka bekerjasama dengan jin atau setan
adalah Labi>d bin Al-A’s}am yang pernah menyihir Nabi Saw[4]. Sedangkan
praktik ruqyah dengan Kita>b Allah pernah dilakukan oleh Wanita
Yahudi yang meruqyah ‘Aishah ra pada saat ia sakit. Diceritakan bahwa
suatu ketika Abu> Bakar datang ke rumah ‘Aishah ra yang sedang
menderita sakit. Saat itu ada seorang wanita Yahudi yang akan mengobati
Aishah dengan cara meruqyah. Maka Abu> Bakar memerintahkan wanita
Yahudi itu untuk meruqyah dengan Kita>b Allah, yaitu dengan Taurat
dan Inji>l (أن أبا بكر دخل على عائشة وهي تشتكي ويهودية ترقيها، فقال أبو بكر: ارقيها بكتاب الله. يعني: بالتوراة والإنجيل...")[5]
Dari
keterangan tersebut menunjukkan bahwa ruqyah, selain dilakukan oleh
orang-orang ‘Arab Ja>hili>yah juga dilakukan oleh orang-orang Arab
Yahudi. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas ra bahwa pernah ada
seorang ahli ruqyah bernama D{ima>d dari kabilah Bani Azad
Shanu>-ah pergi ke Mekkah. Ketika D{ima>d mendengar dari
orang-orang Jahiliyah Mekkah yang mengatakan bahwa Muhammad telah gila,
ia ingin sekali meruqyahnya. Akhirnya D{ima>d dapat bertemu dengan
Nabi Muhammad Saw dan menawarkan diri kepada beliau untuk dapat
meruqyahnya. D{ima>d berusaha meyakinkan Nabi Saw bahwasanya dirinya
bisa meruqyah dan Allah akan menyembuhkan siapa saja yang diruqyahnya.
Mendengar tawaran dari D{ima>d itu, Nabi Saw menjawabnya dengan
kalimat sebagai berikut: (إِنَّ
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ
فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أَمَّا بَعْدُ),
“sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kita memuji, memohon pertolongan
dan ampunanNya. Barangsiapa yang diberi petunjuk maka tidak ada yang
dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkanNya, maka tidak ada
yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Saya bersaksi bahwa tidak ada
tuhan kecuali Allah yang Esa, tiada sekutu bagiNya dan bahwasanya
Muhammad adalah hamba dan utusanNya”.
Mendengar
jawaban Nabi Saw seperti itu D{ima>d penasaran kemudian minta kepada
Nabi saw untuk mengulanginya lagi. Maka Rasulullah saw pun
mengulanginya hingga tiga kali. Setelah itu D{ima>d berkomentar
dengan penuh kekaguman, katanya: “Aku sering mendengar
perkataan-perkataan tukang ramal, tukang sihir dan para penyair, namun
sungguh aku tidak pernah mendengar seperti apa yang engkau (Nabi Saw)
ucapkan tadi. Sungguh ucapan-ucapanmu itu mencapai kedalaman lautan”. Setelah itu D{ima>d berbaiat kepada Rasul Saw untuk memeluk agama Islam dan kaumnya pun kemudian diajaknya memeluk Islam.[6]
Di
kalangan sahabat Nabi saw, sebelum masuk Islam, banyak yang mempunyai
keahlian melakukan ruqyah. Tetapi mereka mengalami kebimbangan ketika
Nabi Saw melarang ruqyah. Di antara mereka itu adalah keluarga ‘Amr bin
H{azm. Suatu ketika mereka menemui Rasulullah saw untuk menanyakan
perihal larangan ruqyah. Mereka lalu memperlihatkan kepada Nabi Saw
bagaimana cara meruqyah dari sengatan kalajengking atau gigitan ular
berbisa. Setelah memperhatikan cara-cara mereka meruqyah, Nabi Saw
kemudian mengatakan: “Saya kira tidak ada masalah (dengan ruqyah yang
kalian lakukan). Barangsiapa ada di antara kalian yang bisa menolong
saudaranya maka lakukanlah”. (مَا أَرَى بَأْسًا مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فليفعل).[7]
Setelah
Nabi memberikan lampu hijau tentang bolehnya meruqyah, beberapa sahabat
pun melakukan ruqyah, baik terhadap diri sendiri ataupun kepada orang
lain. Pernah suatu ketika sejumlah rombongan sahabat Nabi Saw melakukan
perjalanan. Mereka ingin singgah dan bertamu di sebuah kampung, tetapi
tidak diizinkan. Saat itu kepala kampungnya menderita karena sengatan
ular. Mereka, anak buahnya berusaha mencarikan obat dan menempuh
berbagai cara untuk menyembuhkan kepala kampung itu, tetapi gagal.
Akhirnya meminta tolong kepada rombongan para sahabat untuk dapat
mengobatinya. Juru bicara sahabat mengatakan bahwa dirinya bisa
melakukan ruqyah untuk mengobati kepala kampung itu asal diberi upah.
Setelah berunding, mereka akhirnya menyetujui dan akan memberikan upah
sekawan kambing. Saat itu salah seorang sahabat Nabi Saw mendatangi
kepala kampung kemudian melakukan ruqyah untuk kesembuhannya dengan cara
meniup dan sedikit meludah sambil membacakan surat al-Fa>tih}ah. Dengan
izin Allah, sakit yang diderita kepala kampung itu hilang dan sembuh
total. Para sahabat pun mendapatkan hadiahnya. Setelah dikonfirmasi
kepada Nabi Saw, beliau tertawa dan mengatakan: “Bagaimana kamu tahu
kalau surat al-Fa>tih}ah tu bisa digunakan untuk meruqyah? Kalian
telah berbuat yaang benar. Sekarang bagikanlah hadiahnya dan saya
berikan bagiannya” (مَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». قَالَ وَقَالَ :« أَصَبْتُمُ اقْتَسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ).[8]
Tradisi
meruqyah yang dibolehkan oleh Nabi Saw ini kemudian dilanjutkan oleh
orang-orang sesudahnya, baik dari kalangan saha>bat, tabi’i>n
maupun oleh ulama-ulama berikutnya. Di antara ulama yang terkenal dengan
keahliannya di bidang ruqyah adalah Ibn al-Qayyim al-Jawzi>yah. Ia
banyak menulis tentang cara-cara pengobatan menurut Nabi Saw termasuk
pengobatan dengan cara meruqyah. Salah satu buku karya Ibn al-Qayyim
yang sangat populer adalah al-T{ib al-Nabawi>. Dalam buku ini
Ibn al-Qayyim mengisahkan pengalaman pribadinya bahwa suatu saat ketika
berada di Makkah, ia mengalami sakit. Saat itu ia tidak mendapatkan
dokter dan obat-obatan. Karena itu ia kemudian melakukan pengobatan
dengan jalan meruqyah, yakni dengan cara mengambil segelas air zamzam
kemudian dibacakan surat al-Fatihah di atasnya berulang-ulang baru
kemudian diminum. Dengan kehendak Allah, setelah itu ia mengalami
kesembuhan total (وأقرؤها عليها مراراً، ثم أشربه، فوجدتُ بذلك البرءَ التام)[9].
Hingga sekarang, tardisi ruqyah masih dilakukan oleh kaum muslimin termasuk di Indonesia.
[1] Muslim Bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qushairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, IV,Ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Bairut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, tt),1772.
[2] Hans Wehr, dalam bukunya “A Dictionary of Modern Written Arabic”, (London, Macdonal & Evans LTD, 1974), 355’ menulis bahwa Ruqyah pl.ruqan berarti spell. Sedangkan John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT.gramedia, 1989), 545. Menulis bahwa spell artinya jampi, mantera (sihir).
[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, I. Ed. Shu’ayb al-Arnowt et.al (Kairo: Muassasah Qurtubah,tt), 381. Shu’ayb al-Arnowt berkomentar bahwa hadith ini sahih ligharih.
[4] Abu> 'Abdilla>h Muh}ammad b. Isma>'i>l b. Ibra>hi>m b. al-Mughi>rah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h al-Bukhari> Bi Hasshiyah al-Sindi, Vol.IV (Bayrut: Dar al-Fikr, tt), 20.
[5] Jawwa>d ‘Ali>, Al-Mufas}s}al Fi> Ta>ri>kh al-‘Arab Qabl al-Isla>m, XII (Tt: Da>r al-Sa>qi>, 2001), 136.
[6] Imam Muslim, S{ah}i>h} Muslim No. 2045, III/11. Ibn al-Athi>r, Asad al-Gha>bah, II/33. Shams al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m Wa Wafaya>t al-Masha>hi>r Wa al-A’la>m, I (Bairu>t: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1987), 197.
[9] Ibn al-Qayyim al-Jawzi>yah, al-T{ib al-Nabawi>, Vol I (Bairu>t: Da>r al-Kita>b al’Arabi>, 1990), 152.