Laman

Senin, 29 Oktober 2012

Senin, 22 Oktober 2012

ruqyah

Pengertian Ruqyah

oleh Achmad Zuhdi DH

Kata ruqyah berasal dari bahasa Arab raqa, raqyan, ruqiyyan wa ruqyatan (رقى رَقيا رُقياّ ورقية ). Ahmad Warson Munawwir, dalam Kamus Arab-Indonesia menerjemahkannya dengan mantra. Hans Wehr, dalam bukunya “A Dictionary of Modern Written Arabic”, menulis bahwa ruqyah pl.ruqan berarti spell. Sedangkan John M.Echols dan Hassan Shadily dalam Kamus Inggris- Indonesia menulis bahwa spell artinya jampi, mantra (sihir). Ibrahim Anis dalam Kamus al-Mu’jam al-Wasit} mengartikan ruqyah sebagai perlindungan (الرقية العُوذة), sedangkan Ibn Taymiyah memasukkannya dalam kategori doa atau permohonan ( من أنواع الدعاء). Pendapat bahwa ruqyah itu termasuk doa (الرقية وهي الدعاء) juga dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jawziyah.
Beberapa pengertian yang menjelaskan tentang arti kata ruqyah dari aspek bahasa tersebut, secara keseluruhan dapat difahami semakna dan saling melengkapi satu sama lain yaitu semacam doa, permohonan perlindungan dengan membacakan atau mengucapkan mantra, yakni perkataan atau ucapan yang terdiri dari kalimat yang tersusun dan berirama yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, jika dikaitkan dengan penawar maka mantra penawar berarti mantra pengobatan.
Secara istilah, ruqyah telah didefinisikan oleh para ulama, di antaranya oleh Ibn al-Athir. Ia berkata:
الرُّقْية العُوذة التي يُرْقى بها صاحبُ الآفةِ كالحُمَّى والصَّرَع وغير ذلك من الآفات
Ruqyah adalah permohonan perlindungan (jampi-jampi, mantra) yang dibacakan kepada orang yang terkena penyakit seperti demam, ketakutan dan penyakit-penyakit yang lain.
Sedangkan Abd al-Razzaq mengatakan:
الرقية: العوذة أو التعويذة التى تقرأ على صاحب الآفة مثل الحمى أو الصرع أو الحسد طلبا لشفائه
Ruqyah adalah permohonan perlindungan (jampi-jampi) yang dibacakan pada orang yang terkena penyakit seperti demam, ketakutan (sawan), dan kedengkian dengan maksud untuk mendapatkan kesembuhan.
Muh}ammad Nasir al-Din al-Albani dengan agak lengkap mendefinisikan ruqyah yang sesuai sunnah sebagai berikut:
هي ما يقرأ من الدعاء لطلب الشفاء من القرآن، ومما صح من السنة
Ruqyah adalah sesuatu doa yang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih} yang dibacakan (pada pasien) dengan maksud untuk mendapatkan kesembuhan.
Secara lebih rinci, Hafiz Bin Ah}mad al-Hakimi mengklassifikasikan ruqyah menjadi dua macam, yaitu Ruqyah Mashru’ah (ruqyah yang dibenarkan) dan Ruqyah Mamnu’ah (ruqyah yang terlarang). Ruqyah Mashru’ah adalah ruqyah yang diambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan bahasa Arab dan harus diyakini oleh yang melakukan ruqyah dan yang diruqyah bahwa pengaruhnya (kesembuhannya) tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin Allah Swt. Sedangkan Ruqyah Mamnu’ah adalah ruqyah yang tidak didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah, tidak berbahasa Arab, tetapi dari perbuatan setan dan berkhidmat dengannya. Dalam hal ini seperti yang diambil dari kitab Haykal, al-Talasim, Shams al-Ma’arif, Shumus al-Anwar, dan lain-lain.
Pada mulanya, ruqyah diartikan sebagai mantra, jampi-jampi yakni kalimat-kalimat yang dianggap berpotensi mendatangkan daya gaib atau susunan kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Mantra dibaca oleh orang yang mempercayainya guna meminta bantuan kekuatan yang melebihi kakuatan natural, guna meraih manfaat atau menampik madarat. Dalam pengertian ini, ruqyah dianggap bisa menyembuhkan karena kekuatan ruqyah itu sendiri atau bantuan dari jin dan sebagainya. Ruqyah dalam pengertian seperti inilah yang pernah dilarang oleh Nabi Saw. ‘Awf bin Malik ra berkata:
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
“Dahulu kami melakukan ruqyah di masa jahiliyah. Lalu kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang hal itu?’ Beliau menjawab: ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa dilakukan selama tidak mengandung syirik’.” (HR. Muslim No.2200)
Berdasarkan h}adi>th tersebut maka kata ruqyah tidak boleh dipahami dalam arti mantra sebagaimana dimaksudkan oleh mereka yang mempercayainya sebagai kalimat-kalimat yang memiliki kekuatan magis. Ia seharusnya diartikan sebagai salah satu sebab yang bisa menyembuhkan atas izin Allah, ia bukan penyembuh. Ia hanyalah kalimat-kalimat yang diajarkan atau dibenarkan Nabi untuk diucapkan dalam rangka memohon kepada Allah dan bahwa pengaruhnya berpulang semata-mata kepada kehendak Allah, Yang Maha Kuasa.
Kepercayaan yang demikian kuat di kalangan masyarakat yang ditemui Al-Qur’an, pada masa pra Islam, menjadikan Allah dan Rasul-Nya menggunakan kata tersebut, tetapi dengan mengubah makna semantiknya sehingga sejalan dengan akidah Islam. Dengan demikian kata ruqyah telah diislamkan oleh Al-Qur’an melalui pengajaran dan pengamalan Nabi Saw serta sahabat-sahabatnya. Karena itu pula maka dapat dikatakan bahwa ada ruqyah yang disyariatkan (dibenarkan) dan ada pula ruqyah yang dilarangnya.
Ibn H{ajar al-‘Asqalani berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa ruqyah yang dibolehkan adalah yang memenuhi tiga syarat, yaitu (1) melakukan ruqyah dengan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan nama-nama dan sifat-sifatNya; (2) melakukan ruqyah dengan bahasa Arab atau bahasa lain yang bisa dimengerti maknanya; dan (3) percaya sepenuhnya bahwa penyembuhan yang terjadi adalah semata-mata atas izin dan restu Allah SWT.
Sumber Bacaan:
Luways Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lughah (Bairut: Dar al-Mashriq, 1977), 276.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir , Arab-Indonesia(Surabaya: Pustaka Progresif, 1984), 562.
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London, Macdonal & Evans LTD, 1974), 355.
John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT.gramedia, 1989), 545.
Ibrahim Anis et.al, Al-Mu’jam al-Wasit},II (tt:Dar al-Fikr, tt),367.
Ibn Taymiyah, Majmu al-Fatawa, Vol.XXVII (tt: Dar al-Wafa, 2005), 68.
Muh}ammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’d Shams al-Din Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, al-Tibyan Fi Aqsam al-Qur’an, Vol.I (Bayrut: Dar al-Fikr, tt), 92.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 558.
Ibn al-Athir, al-Nihayat Fi Gharib al-Athar, Vol.II (Bairut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1979), 621. Muh}ammad bin Mukrim Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, XIV (Bairut: Dar Sadir, tt), 331.
Abd al-Razzaq al-San’ani, Tafsir al-Qur’an, VIII/266.
Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Da’if Sunan al-Tirmidhi, Vol.I (tt:tp,tt), 231.
Hafiz Bin Ahmad al-Hakimi, A’lam al-Sunnah al-Manshurah Li ‘tiqadi al-Taifah al-Najiyah al-Mansurah (Jeddah, Maktabah al-Sawadi Li al-Tawzi’, 1997), 155.
Muslim Bin al-Hajjaj Abu al-H{usayn al-Qushayri al-Naisaburi, Sahih Muslim, IV,Ed. Muh}ammad Fuad Abd al-Baqi (Bayrut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, tt),1772.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, X (Bayirut: Dar al-Ma’rifah,tt), 166. Baca juga al-Hakimi, A’lam al-Sunnah al-Manshurah, 155.